Kamis, 28 Maret 2013

SEJARAH TOKOH KEARIFAN LOKAL
KYAI TOGO AMBAR SARI

A. Pendahuluan
Togo Ambar Sari begitu kebanyakan orang mengetahui julukan Kyai yang memiliki nama Sariman. Memang nama beliau tidak tercatat dalam lintas sejarah intelektual pesantren, ketenarannya tidak sebesar K.H. Hasyim Asy’ari dalam memperjuangkan dan mempertahankan republik ini, ataupun tidak sedahsyat Syeikh Nawawi al-Bantani yang diakui kapasitas keilmuannya hingga seantero dunia. Namun, beliau merupakan anak bangsa yang perlu digugu dan ditiru menjadi suri tauladan untuk generasi selanjutnya.

Banyak versi tentang asal muasal dan arti nama siapakah orang yang memberi juluki dengan sebutan Togo Ambar Sari dan apa arti dari julukan tersebut, namun terdapat riwayat yang valid bahwa nama itu pemberian Kyai Hasan Genggong ketika beliau sowan bersama dengan mertuannya. Ketika itu sang guru berujar “Been satia enyamai Togo Ambar Sari, been tongguen Bendebesa” (Kamu sekarang saya namai Togo Ambar Sari, kamu yang menjadi tempat pengaduan orang Bondowoso) dan yang pasti, Beliau merupakan seorang tokoh karismatik penuh dengan kesederhanaan yang menjadi tempat “pengaduhan” masyarakat wilayah Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Situbondo dan Probolinggo.
Bahkan, Drs. K.H. Hasan Basri, Lc, Rektor IAII Sukorejo mengakui sosok Kyai yang penuh dengan kesederhanaan itu. Al-kisah tentang kesederhanaannya, suatu ketika beliau mendapat kunjungan dari Hadratus Syeikh KHR. As‘ad Syamsul Arifin, dalam rangka peresmian madrasah yang dibinanya. Hadir juga para Kyai, diantaranya Kyai Mino, Kyai Hosnan, dan lain-lain. Ratusan mata para pengunjung tertuju para sosok ulama’ besar ini. Gambaran awal pertemuan para kyai ini berlansung dengan megah, dan meriah dihiasi dengan pernak-pernik. Sebaliknya, sosok kyai Togo muncul dengan keserhanaan, berpakaian sebagaimana dalam keseharian.
Sungguh luar biasa, walaupun hidup dikelilingi dengan pesona dunia. Gemerlapan dibuai dengan kenikmatan, Beliau tidak silau menatapnya, tidak terpedaya dengan hamparan kekayaannya. Tidak besar kepala dengan keharuman namanya. Konon, dalam setiap tamunya yang sowan kepadanya, beliau tidak sama sekali dengan uang cabisan, bahkan diletakkannya disela-sela anyaman dari bambu untuk Pagar dinding rumah.

B. Tempat dan Tahun Kelahirannya
Tepat tanggal 27 April 1997, dunia dirundung duka yang mendalam, khususnya kota Bondowoso , Betapa tidak, ‘Alam ad-Din (Icon agama), Kyai Togo Ambar Sari berpulang ke Rahmatullah. Bergemuru saat kepergiaannya tersebar. Ribuan pelayat silih berganti berdatangan untuk memberikan do’a mengiringi kepergiaannya ke tempat pusara.
Kyai yang konon nama asli – sebelum diubah dengan nama Sariman – adalah Madra’i lahir di dusun Gerduk Salak, desa Tangsil Wetan kecamatan Wonosari. Disebut dusun gerdu salak, konon dahulu kala dusun ini dipenuhi dengan tanaman salak, terutama di daerah aliran sungai. Di antara pepohonan salak terdapat gubuk (surau) kecil yang biasanya dibuat tempat istirahat sejenak oleh warga setempat.
Adapun tentang tanggal kelahirannya, tidak ada data yang valid tentang keabsahan tanggal lahirnya. Namun, kelahirannya diprediksi akhir abad 18 M. Hal ini bisa dimaklumi, sebab orang desa primitif dengan masa dahulu tidak begitu memperhatikan dan mencatat tanggal kelahiran.
Prediksi ini bukan berarti tanpa data. Salah satunya adalah penuturan mbah Cong (Mukhlis), orang tua K.H. Mudarris yang merupakan teman sewaktu mondok di daerah pacinan Mangaran Situbondo. Mbah Mukhlis berumur 125 tahun kala pada tahun 2008, waktu meninggalnya. Sebelumnya mamang ahlul warits memprediksikan sewaktu baru meninggalnya, bahwa kyai Togo berumur 110 tahun. Mengacu pada statemen di atas, kyai Togo lahir sekitar tahun 1885-1890.
Jalan lain adalah menghitung secara matematik dari umur masing-masing putra beliau. Bila putra yang ke delapan lahir pada tahun 1955, sedangkan bila dibuat durasi waktu kelahiran antara putra ke putra yang lain adalah 4 tahun. Maka, kurun waktu kelahiran semua putra beliau adalah 32 tahun. Bila berpatokan dengan ini, secara kalkulasi hitungan beliau menjalani hidup rumah tangga bekisar tahun 1923. dan jika pada kebiasaan zaman dulu menikahnya seorang pemuda umur 25 tahun atau lebih dikarenakan santri. Maka demikian, beliau lahir bekisar antara tahun 1895-1905.
Namun demikian, prediksi ini butuh penelitian yang lebih mendalam agar nantinya mendapatkan suatu kesimpulan yang berdasar baik tertulis maupun dari hasil wawancara dari seseorang yang semasa dengan beliau.

C. Silsilahnya
Masyarakat Besuki dan Bondowoso memiliki budaya dan dialek yang sama dengan masyarakat di Pamekasan, Madura, sedangkan masyarakat di wilayah Panarukan, Kabupaten Situbondo ke timur memiliki kesamaan budaya dengan Sumenep.
Tahun 1743 terjadilah pemberontakan Ke Lesap terhadap Pangeran Tjakraningrat karena dia diakui sebagai anak selir. pertempuran yang terjadi di desa Bulangan itu menewaskan Adikoro IV, Tahun 1750 pemberontakan dapat dipadamkan dengan tewasnya Ke Lesap. Terjadi pemulihan kekuasaan dengan diangkatnya anak Adikoro IV, yaitu RTA Tjokroningrat. Tak berapa lama terjadi perebutan kekuasaan dan pemerintahan dialihkan pada Tjokroningrat I anak Adikoro III yang bergelar Tumenggung Sepuh dengan R. Bilat sebagi patihnya. Khawatir dengan keselamatan Raden Bagus Assra, Nyi Sedabulangan membawa lari cucunya mengikuti eksodus besar-besaran eks pengikut Adikoro IV ke Besuki. Assra kecil ditemukan oleh Ki Patih Alus, Patih Wiropuro untuk kemudian di tampung serta dididik ilmu bela diri dan ilmu agama.
Ketika masa Pemerintahan Bupati Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. Kiai Patih Alus mengusulkan agar Mas Astrotruno (Raden Bagus Assra), putra angkat Bupati Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno juga sanggup memikul tugas tersebut. Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih “Melati” yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang subur.
Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan politis juga sebagai upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas wilayah yang dituju penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno dibantu oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan sekitar Arak-arak “Jalan Nyi Melas”. Rombongan menerobos ke timur sampai ke Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut “Lawang Sekateng”. Nama-nama desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin, Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan dengan membangun pondol peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan (diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang).
Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran, tamben dan Ledok Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang, Selolembu. sebelah timur adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari, Jurangjero, Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat Sentong, Bunder, Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger, Sabrang, Menampu, Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah lima ratus orang, sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang. kemudian dibangunlah kediaman penguasa di sebelah selatan sungai Blindungan, di sebelah barat Sungai Kijing dan disebelah utara Sungai Growongan (Nangkaan) yang dikenal sebagai “Kabupaten Lama” Blindungan, terletak ±400 meter disebelah utara alun-alun.
Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk memantapkan wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat menjadi demang denga gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan sebutannya adalah “Demang Blindungan”. Pembangunan kotapun dirancang, rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan ternak. lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai alun-alun kota. Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara lain aduan burung puyuh (gemak), Sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan sapi guna menghibur para pkerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan secara berkala dan mejdi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Atas jasa-jasanya kemudian Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa Negeri.
Dari ikatan Keluarga Besar “Ki Ronggo Bondowoso” didapat keterangan bahwa pada tahun 1809 Raden bagus Asrrah atau mas Ngabehi Astrotruno dianggkat sebagi patih beriri sendiri (zelfstanding) dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di Bondowoso. Adapau tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi Bondowoso, sebagi ubahan perkataan wana wasa. Maknanya kemudiandikaitkan dengan perkataan bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan kleras mengemban tugas (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan membangun kota.
Meskipun Belanda telah becokol di Puger dan secara administrtatif yuridis formal memasukan Bondowoso kedalam wilayah kerkuasaannya, namun dalam kenyataannya pengangkatan personil praja masih wewenang Ronggo Besuki, maka tidak seorang pun yang berhak mengkliam lahirnya kota baru Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai akhir hayat Sri Bupati di Besuki.
Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta dengan perdikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon, 25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan eksistensi formal Bondowoso sebgai wilayah kekuasaan mandiri di bawah otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara 1829-1830.
Pada 1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekausaannya diserahkan kepada putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu menjabat Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858 dengan gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan di Blindungan sekarang atau jalan S Yododiharjo (jalan Ki Ronggo) yang dikenal masyarakat sebagi “Kabupaten lama”.Setelah mengundurkan diri, Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di Kebundalem Tanggulkuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19 Rabi’ulawal 1271 H atai 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun. Demikianlah dari hari ke hari Raden Bagus Assra berhasil mengembangkan Wilayah Kota Bondowoso dan tepat pada tanggal 17 Agustus 1819 atau hari selasa kliwon, 25 Syawal 1234 H. Adipati Besuki R. Aryo Prawirodiningrat sebagai orang kuat yang memperoleh kepercayaan Gubernur Hindia Belanda, dalam rangka memantapkan strategi politiknya menjadikan wilayah Bondowoso lepas dari Besuki, dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat R. Bagus Assra atau Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dan pimpinan agama, dengan gelar M. NG. Kertonegoro dan berpredikat Ronggo I, ditandai penyerahan Tombak Tunggul Wulung.
Tanpa terkecuali dusun Gerdu Salak yang kala itu dipimpin oleh orang tempo dulu dengan sebutan bangsawan asal pulau garam tersebut. Bangsawan tersebut nantinya melahirkan sosok kyai kharismatik se- karisidenan Besuki, kyai Togo Ambar Sari.
Beliau merupakan seorang al-Allama al-Arifbillah yang tidak diragukan lagi kewaliannya lahir dari seorang abid yang bernama Magidin yang berpasangan dengan Safinah yang konon adalah seorang yang ahli puasa, Kyai Magidin sendiri mempunyai 4 putra. Pertama, Madra’i (Kyai Togo). Kedua, Syafiuddin. Ketiga, Radiyah. Keempat, Suhdin. Pada umumnya di masyarakat pedesaan nama anak pertama sebagai sebutan bagi ayahnya. Oleh sebab itu bapak Magidin dalam kesempatan waktu disebut dengan bapak Madra’i.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kyai Togo lahir dari pasangan Kyai Magidin dan nyai Safinah dari jalur silsilah ayahanda Kyai Togo leluhur dari Kyai Togo berasal dari desa Tegal Mojo yang konon kata sepupu di sana leluhur masyarakat di desa tersebut adalah Bujuk Lidah perantauhan dari pulau garam Madura. Salah satu putra Bujuk Lidah adalah Kyai Sainyo. Sedangkan Kyai Sainyo sendiri merupakan kakek dari almarhum Kyai Togo Ambar Sari.
Sedangkan dari jalur ibu, ibunda Kyai Togo bersambung kepada Bujuk Reduh. Bujuk Reduh adalah kepala desa tangsel wetan pertama. Adapun nama aslinya adalah H. Sueb. Konon, julukan Reduh disematkan pada beliau disebabkan sewaktu pelantikan beliau terjadi hujan lebat. Bahkan, menurut sebagian penuturan sepupuh penduduk desa ini, setiap beliau kurang berkenan terhadap sesuatu, maka terjadilah hujan deras. Menurut informasi yang didapat, bahwa Nyai Safinah adalah putri dari Sajiyah yang mana Sajiyah sendiri putra pertama dari Bujuk Reduh.
Kyai yang terkenal dengan ke-zuhudannya ini memiliki delapan putra dari pernikahan dengan nyai Yahyana. Pertama, Asmina (alm). Kedua Sibawai (alm). Ketiga Syafi’i (alm). Keempat, Toha (KH. Farisi ). Kelima, Hasan (alm, KH. Zubair ). Keenam, abdul Halim. (alm). Ketujuh, Muhammad (alm). Kedelapan, Drs.KH. Salwa Arifin.

D. ar –Rihlah al –Ilmiyah
Menurut penuturan Ahlul Bait dan beberapa santri angkatan 50 –an dan 60 –an, kyai Togo Kecil belajar mengaji pertama kali kepada H. Abdul Gaffar, yaitu Kyai desa tangsel. Sebelum melalangbuana daam pengembaraan ilmunya, kyai Togo kecil menghabiskan masa kecilnya di daerahnya –Tangsel Wetan –sebagaimana usia kecil umumnya bermain dengan teman sejawatnya.
Tidak ada data tertulis tentang rihlah ilmiah sosok Kyai Togo. Namun, telah diakui oleh banyak kalangan bahwa beliau seorang kutu buku sebelum akhirnya menempuh jalan ke-zuhud-an.
Setelah beliau bisa mengaji al-Qur’an, beliau melanjutkan perantauan mencari ilmu ke beberapa pesantren. Menurut Drs. KH. Salwa Arifin, almarhum sempat mondok di daerah Bangsal, Jember, Jawa Timur dengan nama gurunya adalah KH. Ilyas walaupun -menurut beliau- mondoknya almarhum cukup singkat.
Beliau juga sempat menimbah ilmu yang terletak di daerah pacenan kecamatan Mangaran kabupaten Situbondo dalam bimbingan KH. Sholeh, konon menurut pengasuh ketiga pondok pecenan KH. Abdul latif, cucu dari KH. Sholeh, kyai Togo nyantri di pecenan sebelum tahun 1922. Hal ini didasari oleh tahun berdirinya masjid yang berada tepat di sebelah pondok. Sebelum masjid tersebut dibangun, santri pacenan sholat jum’at di masjid yang terletak di kecamatan yang jaraknya sekitar 15 Km. Lebih lanjut, menurutnya, kyai togo tergolong santri generasi pertama yang nyantri di pondok pecenan yang setiap jum’atnya masih melaksanakan sholat jum’at di masjid yang berada di kecamatan Mangaran. Di pondok inilah kyai togo sangat menekankan ilmu haliyah (tata krama) sehingga membentuk dirinya sebagai pribadi yang luhur.
Terdapat cerita menarik ketika mondok di pecenan, suatu ketika burung merpati peliharaan sang guru yang digantung di atas bambu, tali ikatnya putus. Disuruhlah kyai togo untuk memanjat bambu tersebut. Walau bambu sudah keropos, ia langsung mengambil sangkar burung di atas bambu tanpa memperdulikan bambu yang keropos karena ta’diman (menghormati) kepada gurunya. Di luar dugaan bambu yang dipanjatnya tidak patah. Setelah turun, barulah bambu tersebut patah.
Juga Almarhum sempat menuntut ilmu ke daerah Besuki. Hal ini menurut penuturan Mas Sofwan, cucu dari pengasuh yang dulu pernah membimbing almarhum. Umumnya para santri tempo dulu, Kyai Togo menanamkan kemandirian hingga meleket dalam dirinya, melakukan riyadhoh tanpa kenal henti dan lelah, belajar tanpa kenal waktu dan usia.
Merasa belum puas dengan keilmuannya, beliau melanjutkan pengembaraan ilmu ke pesantren Zainul Hasan, Genggong Probolinggo. Di pesantren ini, Kyai Togo belajar kurang lebih sekitar 10 tahun. Di Pesantren ini pula, cerita- cerita unik tentang diri Kyai Togo dimulai, ini tidak terlepas dari riyadhoh-riyadhoh yang beliau lakukan. Diantara riyadhohnya adalah berpuasa dan sedikit makan.
Diceritakan, takkalah beliau nyantri di Genggong, sejak awal nyantri berpuasa hingga satu minggu lebih, sekonyong-konyong beliau tersungkur pingsan sesuai melaksanakan sholat Jum’at karena badannya lemas. Dari sini nampak jelas beliau menjalani penyucian jiwa raga sebelum menerima ilmu dari sang guru. Hal inlah yang membuat beliau menjadi ulama’ kharismtik pada akhirnya kelak. Namun, yang paling unik riyadhoh yang dilakukan adalah menunggu dan membalikkan terompah sang kyai. Agar sang guru tidak kerepotan ketika hendak berjalan keluar. Hal ini selalu dilakukan hingga beliau berakhir nyantri di sana.
Meskipun demikian, sosok Kyai Togo bukan berarti tidak pernah balajar tatkala nyantri di pondok asuhan Kyai Hasan Genggong. Konon, Beliau selalu belajar tatkala santri-santri sedang terlelap tidur. Cara belajar beliau pun sangat berbeda dengan cara belajar santri lainnya. Beliau belajar secara otodidak (belajar sendiri) dan mengulang-ngulang apa yang sudah didapat. Beliau belajar di kamarnya (sekarang menjadi kamar C 2) dengan memakai cahaya lampu stongking, satu-satunya penerangan di mushalla yang cahayanya menembus sela-sela pembatas gubuk yang terbuat dari anyaman bambu.
Dalam upaya menambah ilmu pengetahuanya, beliau selalu dalam bimbingan kepada KH. Saifuddin, menantu dari Kyai Hasan Genggong. Walau beliau tidak secara terang-terangan dalam mengikuti pengajian di mushalla dibawah bimbingan langsung Kyai Hasan. Tapi beliau selalu mendengar pengajian yang diberikan gurunya tersebut di balik kamarnya. Hal ini, menurut penuturan santri-santri senior disana, Kyai Togo adalah malingnya ilmu. Hal ini dilakukan karena beliau disana hanya untuk mengabdi.
Beliau salah satu dari sekian banyak santri yang pernah menggantikan posisi Kyai Hasan dalam memberi pengajian kepada santri di mushallah ketika Kyai Hasan berhalangan memberi pengajian di mushalla.

E. Tipologi Pemikirannya
Bila disejajarkan dengan Kyai-Kyai sekaliber KH. Hasyim Asy’ari, KH. Badruzzaman (1990 – 1972), KH. Bisri Mustofa (1915 -1977) dan lain – lain, Kyai Togo tergolong tidak menonjol dalam bidang karya tulis. Hal ini terbuki sedikitnya karya tulis –kalau tidak dibilang tidak ada- yang dihasilkan lewat sentuhan pena beliau. Sejauh yang diketemukan, satu-satunya karya yang dihasilkan oleh Kyai Togo adalah sebuah manuskrip yang berisikan dzikir. Buku ini pun diduga bukan asli, melainkan salinan dari guru beliau.
Namun demikian, bukan berati beliau tidak mempunyai pemikiran-pemikiran sendiri. Dengan kata lain, tipologi pemikirannya dapat dilihat dari prilaku beliau semasa hidupnya, baik dari ucapan maupun tindakannya. Sangatlah tidak masuk akal, manakala tindakan seorang yang alim tidak dilandasi oleh suatu keilmuan. Seperti contoh, mengerjakan sholat Id di waktu terbit fajar. Memang agak mengherankan kepada beberapa kalangan intelektual pesantren bila mendengarkan perbuatan tersebut. Tapi, bukan berati hal tersebut terlepas dari bingkai intelektual spritual beliau. Intelektual-spiritual ini yang akan menjadi pembahasan tersendiri dalam bagian ketiga buku ini.
Sementara itu, corak pemikiran Kyai Togo yang dapat ditangkap dari manuskrip yang disebutkan di atas, terlihat jelas bahwa beliau merupakan seorang mutasawwif yang begitu dalam. Dalam manuskrip tersebut tersirat renungan-renungan yang bersifat sufistik. Pertama, ilmu penanggaran hati. Yaitu ilmu yang membahas tentang tuntunan dan pedoman hati. Kedua, ilmu ikhlas. Ketiga ilmu yakin. Ketiga ilmu ini mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Menurut penuturan muridnya, bahwa perbuatan yang didasari dengan keikhlasan tanpa keyakinan, maka perbuatan tersebut tak berarti. Begitu juga keyakinan tanpa keikhlasan perbuatan tak bernilai.
Lebih lanjut menurut Kyai Togo yang diterjemahkan oleh KH. Mudarris, bahwa semua do’a bisa diterima bilamana didasari hati yang bersih, ikhlas dan yakin

F. Kiprah dalam masyarakat
Sebagaimana lazimnya manusia pada umumnya, Kyai Togo merupakan manusia biasa dengan seluru sifat kemanusian yang ada pada dirinya. Beliau makan, minum, menikah, bekerja dan lain sebagainya.
Beliau juga merasa apa yang pernah dirasakan umat manusia, mulai dari masa kecil hingga akhir hayatnya seperti rasa harap dan cemas, sakit dan sehat, senang dan sedih, menyendiri dan bermasyarakat. Sosok Kyai Alumnus Genggong ini mengawali hidup bermasyarakat yaitu dengan menjalani bahtera kehidupan rumah tangga dengan mempersunting Nyai Yahyana putri bapak Ahmad. Konon Nyai Yahyana adalah masih kuturunan Bujuk Reduh dari jalur ibundanya. Bujuk Reduh memiliki empat putra. Putra pertama, Sajiyah. Putra kedua, Trawih. Putra ketiga, Rufi. Putra keempat, Sardiyan. Dari sardiyan inilah yang merupakan orang tua nyai Safinah dan kakek dari nyai yahyana dari jalur ibundahnya.
Terdapat cerita menarik tatkala Kyai Togo menikahi Nyai Yahyana. Ketika itu Kyai menikahi Nyai Yahyana dengan mas kawin menghatamkan al-Qur’an. Setelah sampai 7 hari Kyai memberitahukan kepada sang mertua bahwa ia sudah menghatamkan al-Qur’an dalam waktu seminggu. Sang mertua, bapak Ahmad kurang begitu percaya dengan pemberitahuan sang menantu. Akhirnya, disuruhlah sang menantu untuk menghatamkan lagi.
Sesampainya 3 hari kemudian, al-Maghfullah, Kyai Togo menghadap sang mertua untuk menyatakannya bahwa ia sudah menghatamkan al-Qur’an. Sang mertua pun masih kurang percaya kepada calon menantunya tersebut bahwa ia bisa menghatamkan al-Qur’an dalam waktu 3 hari. Disuruhlah kembali Kyai Togo untuk menghatamkan al-Qur’an sekali lagi. Sehari kemudian, Kyai Togo menghadap kepada sang mertua dengan maksud yang sama seperti kemarin. Akhirnya, sang mertua untuk meyakinkan dirinya bahwa calon menantunya betul-betul orang pilihan. Ia berkehendak sowan Kyai Hasan Genggong.
Sesampainya ke tempat tujuan, Kyai Togo serta mertuanya diterima oleh sang Kyai. Di sela-sela itu, Kyai Togo disuruh untuk membersikan dalem (baca: rumah seorang Kyai) beserta perabotannya. Setelah membersihkan ruangan, Kyai Hasan berujar “been setia e nyamai togo ambar sari, been tongguen bendebasa. (kamu sekarang saya namai Togo Ambar Sari. Kamu yang menjadi tempat pengaduan orang Bondowoso)
Dalam kiprahnya di tengah-tengah mayarakat yang mayoritas tipologi agraris, Kyai yang merupakan pengasuh pertama sekaligus pendidri PP. Manbaul Ulum ini, sangat dekat dengan masyarakat, tanpa melihat latar belakang, status sosial, etnis, ras, maupun suku. Bahkan berbeda keyakinan pun Beliau memiliki kedekatan dengan mereka-mereka dalam hal hubungan antar sesama. Terbukti dengan banyaknya tamu yang berkunjung kepada beliau dengan berbagi macam kepentingan-kepentingan
Terdapat beberapa faktor yang menjadi motif kedekatan Kyai Togo dengan masyarakat sekitar, di antaranya adalah, Pertama, faktor ilmu. Tidak disangkal lagi, alumnus pesantren Genggong Probolinggo ini memiliki segudang ilmu. Dapat dilihat dari penuturan ahlul bait bahwa sekitar tahun 50-an terdapat beberapa santri nyolok (madura; santri yang tidak menetap) mengaji kitab-kitab klasik seperti bidayah, ta’lim al-muta’allim dan lain-lain
Dengan segudang ilmu yang dimilikinya, beliau menjadi rujukan masyarakat sekitar yang nota beni bercorak agamis kala itu. Terutama ilmu-ilmu yang bersentuhan langsung dengan aktifitas kemasyarakatan
Kedua, faktor ketaqwaan. Menurut penuturan KH. Farisi, -putra keempat almarhum-, Kyai Togo jarang keluar dari kediamannya. Bahkan untuk membicarakan hal-hal yang kurang bermanfaat pun dihindari. Apalagi membicarakan kejelekan orang lain. Kebiasaan beliau, merenung, taffakkur. Tempat yang beliau sukai adalah tempat duduk yang terbuat dari kayu di ruang tengah kediamannya. Kala malam tiba, beliau masuk dalam kamar. Sekitar jam 2 malam beliau diantar oleh Nawawi, seseorang yang selalu mengantar beliau untuk mengambil wudhu’.
Ketiga, faktor kekaromahan. Bukan rahasia di kalangan masyarakat Gerdu Salak tentang banjir yang melanda di desa tersebut yang disebabkan cebolnya bendungan. Diceritakan, pada suatu musim hujan telah tiba. Terjadi banjir besar yang sampai menjebolkan bendungan irigrasi yang arah banjir tersebut ke daerah pemukiman warga. Kala itu, rasa was-was menghantui penduduk setempat. Sebelum banjir masuk ke perkampungan warga, Kyai Togo menancapkan sebatang lidi. Seketika itu pula air banjir tidak masuk ke daerah perkampungan. Cerita ini, turun-temurun dari generasi ke generasi hingga saat ini.

G. Jalan menuju Allah
Dalam sub ini, akan diungkap seklumit perjalanan sufistik yang dialami oleh Kyai Togo Ambar Sari, sekalipun pembahasan ini, edialnya perlu adanya kajian yang mendalam tentang hal ini. Setelah menelusuri dengan mewawancarai beberapa sumber dan saksi hidup dan mengkaji, maka dapat dijumpai gambaran spiritual Kyai Togo Ambar Sari. Penulis menemui beberapa tahapan yang dilaluinya yang terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat. Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai berikut:
Pertama, Syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”
Kedua, tarekat. Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau “Al-Amal”,
Secara definitif, terdapat tiga pengertian tentang hal ini. pertama, Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah. Kedua, Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin). Ketiga, Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) dibawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.
Ketiga, hakikat. Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.
Keempat, makrifat. Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain pertama, Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya. Kedua, Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar. Ketiga, Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Latihan jiwa untuk menuju Allah tidak semudah mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, sebab perjalanan menuju Allah memiliki berbagai macam tantangan dan rintangan dari jiwa, masyarakat dan syaitan, cobaan tersebut datang menghalangi sang Salik menuju Allah, tetapi Kyai Togo berhasil menepis segala halangan dan rintangan yang mengganggunya untuk mengenal Allah dan berjalan munujunya, zikir, istighfar, salawat merupakan bahagian penting menuju perjalanan yang penuh dengan onak dan duri.
Melihat sosok almarhum dari sisi tasawufnya, akan lebih menarik bilamana akan diungkap usaha-usaha beliau akan tujuan mencapai kepada Allah. Beliau –sama halnya dengan kaum sufi lainnya- melalui beberapa tahap dalam perjalanan sufinya. Setidaknya menurut penulusuran penulis tahapan-tahapan tersebut terbagi menjadi tiga. Pertama, tahapan Takhalli. Takhalli berarti melepas atau mengosongkan diri selain Allah dengan cara tidak tergiur dunia, zuhud dan uzlah.
Menurut penuturan putra ke empat beliau, KH. Farisi, bahwa sejak beliau nyantri di sukorejo, abahnya memang menjalani kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang pada umumnya, yaitu kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat duniawi, berpakaian ala kadarnya,
Kedua, Tahalli. Tahalli berarti menghiasi diri dengan ibadah kepada Allah. Dua kondisi ini pada biasanya seseorang masih dapat menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran syariat.
Gambaran tahalli al-marhum dapat dilihat dari kesaksian  abdi dalem beliau, bahwa setiap jam 02.00, abdi dalem mengantarkan kyai sepuh untuk jading untuk berwudhu’. Bisa disimpulkan aktifitas tersebut- walau sang abdi dalem tidak melihat betul aktifitas selanjutnya- mengindikasikan perbuatan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT
Ketiga, Tajalli. Tajalli berarti menjelma dalam diri yang pencipta. Memakai istilah Syaikh Siti Jenar, Manunggaling Kaulo Gusti. Manusia menyatu dengan Tuhannya, tiada hijab diantara keduanya. Tatkala manusia sudah menyatu dengan-Nya, maka hilanglah eksistinsi di setitarnya.
Sulit rasanya menggambarkan menyatunya hamba dengan tuhannya. Cerita-cerita yang berkembang di masyarakat tentang ke-wali-an beliau menunjukkan beliau bersatu dengan tuhannya. Semisal sholat di luar waktunya, sebab bagi seorang yang hanya dalam dirinya allah semata, maka tiada hal-hal yang jadi penghalang

H. Kyai Togo dan Manbaul Ulum
Memang benar adanya, Kyai yang berpenampilan sederhana ini adalah putra desa. Beliau tidak mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan ataupun tidak mengenal ilmu pendidikan di pusat-pusat pendidikan terkenal. Namun prilaku dan tindakannya tercermin sebagi sesosok yang peduli terhadap pendidikan. Madrasah Manbaul Ulum adalah bukti kepeduliahannya terhadap pendidikan.
Prasasti yang terbuat dari marmer yang berukuran 45 cm X 30 cm bertuliskan tinta emas adalah saksi bisu atas berdirinya sebuah madrasah dengan nama Manbaul Ulum. Madrasah inilah yang menjadi embrio berdirinya Pondok Pesantren Manbaul Ulum yang tercatat pada akte notaris 1992. Menariknya, pembangunan madrasah yang seluar 60 m2 relatif lebih cepat dan tidak memakan biaya mahal. Banyaknya masyarakat sekitar yang membantu pembangunan komplek madrasah dan bahkan terdapat sebagian msyarakat yang merelakan sebidang tanahnya demi kepentingan pondok ini.
Madrasah yang diresmikan oleh KHR. Asad Syamsul Arifin lambat laun mengalami perubahan yang sangat pesat. Anomi masyarakat terhadap madrasah pun sangat antutias. Tahun pertama (1989) dibukalah Madrasah Diniyah Sufla. Madrasah ini ditempuh dengan jenjang pendidikan selama 6 tahun. Di pertengahan tahun ini, tepatnya tahun 1993, terdapat santri yang sudah menetap (mukim). Pada tahun 1995 di buka pendidikan Madrasah Diniyah Wustha. Pada tahun ini pula, putra bungsu Kyai Togo, Drs KH. Salwa Arifin pulang dari yantri di PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Hingga tahun 1997, ketika Kyai Togo menghadap sang ilahi, estafat kepemimpinan beralih kepada putranya, Drs. KH. Salwa Arifin. Lewat sentuhannya, Pondok Pesantern Manbaul Ulum mengalami perkembangan yang sangat cepat. hal ini ditandai dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan. Pada tahun 1998, didirikan Madrasah Diniyah Ulya. Hingga tahun 2003, Pondok Manbaul Ulum membuka Madrasah Tsanawiyah. Pendidikan yang berafeliansi dengan departemen agama. Pendidikan Madrasah Tsanawiyah Manbaul Ulum merupakan pendidikan perpaduan dari agama dan umum sebagai bakal para santri agar mampu menghadapi globalisasi. Pendidikan di Pondok Pesantren Manbaul Ulum bukan hanya menekankan kepada aspek kognitif dan efektif semata. Namun, juga menekankan pada aspek psikomotorik. Hal ini untuk membekali para santri agar supaya kelak mempuyai khusus. Oleh sebab itu, tahun 2004, Pondok Manbaul Ulum membuka Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan jurusan tata busana. Pendidikan ini membekal para santri agar mampu menjadi manusia yang siap pakai kelak ketika pulang dan hidup di tangah – tengah masyarakat. Tidak cukup sampai disana.
Guna membentengi khazanah keislaman di pondok ini. PP. Manbaul Ulum membuka pendidikan tingkat tinggi (baca: Ma’had Aly) dengan konsentarasi Hukum Islam. Pendidikan ini berdiri pada tahun 2006 dan kini sudah memasuki angkatan yang ke-2 (2009-2011). Disamping pula terdapat juga lembaga-lembaga kursus, seperti kursus baca kitab cepat (amsilati), bahasa inggris, tata rias dan lain-lain. 

2 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    BalasHapus
  2. melalui blog ini saya hanya ingin mencari keluara dekat saya yang ada di bondowoso,,karena abah saya dan semua saudaranya telah meninggal dunia jadi sedikit sekali impormasi yang saya dapat ,tentang keluarga saya yang ada di jawa timur kususnya.abah saya pernah bercerita bahwa dia pernah ke bondowoso pada tahun 50 an kira-kira masih berumur 10 tahun,,,,,,info yang saya dengar dari abah saya,,,kakek saya asal bondowoso lahir tahun 1902,,,kalau di kalimantan namanya,,,orang memanggil guru darmo karena beliau memang seorang guru mengajar sekolah rakyat di sanga-sanga kaltim,, kemudian menjadi kepala sekolah di handil ,hingga pensiun,,kakek saya juga punya nama lain,,R.JOYOATRUNO,,bin R. MUHAMAD SHOLEH,tinggal kampung kauman,,rumahnya menghadap alun-alun untuk perlombaan pacuan kuda,,,,,kakek saya dari istri pertama punya anak dua= SAMSIAH-SAMSUL ARIFIN.,,,samsiah menikah dg pegawai jawatan kereta api,,,,samsul arifin,,seorang tentara danikut ludruk dagelan,,,,,,,kakek saya dari istri ke dua yang berasal dari cirbon punya satu anak=SUKARSO ,seorang tentara, pernah berdinas di RPKAD,CIJANTUNG,,,Kakek saya menikah dengan nenek saya punya anak tujuh anak= HALIMAH,AHMAD MUZAKIR,ABD KHALIQ,,,HAYA tiga yang hidup hingga punya cucu sisanya meninggal saat masih kecil,,kembar abd manan-abd manaf,,,abd rajak-abd rauf......sayang sekali saya tidak bisa menampilkan foto kakek dan pade saya karena sudah rusak,,,,,,jikaada yang mengtahui ,kauman itu dimana,alun-alun pacuan kuda tempo dulu dimana,,,,,jika ada yang merasa ada kesamaan tempat dimana alamat saudaranya yang ada di bondowoso tulis pesan di fecebook ,,,farid handil ,,,wassalamualaikum wr.wb

    BalasHapus